Perubahan PERMA No. 2 tahun 2003 menjadi PERMA No. 1 tahun 2008 dan Perubahan Terakhir PERMA No. 1 tahun 2016.
PERMA No. 1 tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan dan penguatan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berperkara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan PERMA No. 1 tahun 2008 ini.
Jika PERMA No. 1 Tahun 2008 ini diperbandingkan dengan PERMA No. 2 tahun 2003, maka PERMA 2003 tidak memberikan sanksi, dalam PERMA 2003, banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan PERMA No. 1 tahun 2008 mengatur kemungkinan mengenai hal itu.
Perubahan mendasar dalam PERMA No. 1 tahun 2008, dapat dilihat dalam Pasal 4, yaitu batasan perkara apa saja yang bisa di mediasi. Namun ketentuan tersebut belum menentukan kriteria secara spesifik mengenai perkara apa yang bisa di mediasi atau tidak bisa di mediasi. Pendekatan PERMA ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam PERMA ini, semua perkara selama tidak masuk dalam kriteria yang dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.
Kewajiban mediasi bagi pihak yang berperkara bermakna cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi dalam menyelesaikan perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam Pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU. Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. PERMA No. 1 tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari itikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity (kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak). Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan PERMA No. 1 tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, Peran mediator menurut Pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukkan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara profesional. Mediator harus merupakan orang yang qualified dan memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa PERMA No. 1 tahun 2008 mewajibkan dan menentukan sanksi (pasal 2), maka perlu dipertimbangkan ketersediaan dari Sumber Daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik.
Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beritikad baik. Sistem pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beritikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi wajib akan mengakibatkan proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Sedangkan pada dasarnya mediasi adalah bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan atas dasar sukarela (voluntir), kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak.
Kunci utama dalam mediasi adalah permasalahan waktu. Dalam sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang untuk menyelesaikan sengketa adalah kerugian besar terhadap kepentingan bisnis mereka. Jika menggunakan penyelesaian sengketa melalui peradilan biasa, perlu dipertimbangkan sistem pengadilan yang unpredictable, dapat mendorong pilihan penyelesaian perkara melalui mediasi.
Pemahaman atas natur mediasi dan manfaatnya masih belum maksimal. Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator, tapi mereka tidak melihat adanya manfaat lebih dari proses mediasi tersebut. Sehingga dalam proses yang lebih lanjut evaluasi terhadap PERMA No. 1 tahun 2008 ini No. 1 Tahun 2008 terus dilakukan hingga berujung pada perubahan PERMA No. 1 tahun 2008 menjadi PERMA No. 1 tahun 2016, perubahan tersebut dilakukan karena beberapa alasan mendasar terutama berkaitan dengan masalah waktu dan mengukur itikad baik para pihak untuk melakukan mediasi di Pengadilan. Beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara PERMA No.1 Tahun 2016 dengan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi.
Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Kedua, adanya kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah pengampuan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Ketiga, hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang Itikad Baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak beritikad baik dalam proses mediasi. Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan itikad baik. 2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beritikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan:
- Tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
- Menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;
- Ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
- Menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan
- Tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.
Apabila penggugat dinyatakan tidak beritikad baik dalam proses Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), maka berdasarkan Pasal 23, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara.1 Selanjutnya Penggugat yang dinyatakan tidak beritikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pula kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator menyampaikan laporan penggugat tidak beritikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi. (Sumber: PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA 2017).